Senin, 02 September 2013

Cerita Rakyat : Ledakan Gunung Tinjau (Asal Mula Danau Maninjau)



Dahulu kala, di Sumatera Barat terdapat tiga gunung yang berdampingan. Ketiga gunung itu adalah Merapi, Singgalang, dan Gunung Tinjau. Merapi dan Singgalang sampai kini masih ada, sedangkan gunung tinjau tinggal bekasnya saja.
Konon dahulunya, di kaki Gunung Tinjau hidup satu kaum. Kaum itu dipimpin oleh Datuak Limbatang. Kaum Datuk Limbatang terdiri dari beberapa keluarga. Salah satu dari keluarga itu adalah keluarga Siti Rasani.
Siti Rasani adalah anak bungsu dalam keluarga. Ia satu-satunya wanita dalam keluarga itu. Kakaknya berjumlah sembilan orang. Semuanya laki-laki. Oleh sebab itu, kakaknya ini dikenal dengan Bujang Sembilan. Sang kakak sangat menyayangi Siti Rasani. Semuanya sayang kepada Rasani. Akan tetapi cara menyayangi adik perempuan itu berbeda-beda.
Sejak kecil, Siti Rasani dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan. Budi pekerti yang baik, adat yang baik, perangai yang sempurna, dan berbagai pendidikan sudah tertanam di dalam diri Siti Rasani sejak kecil. Oleh kerena itu, ia tumbuh memjadi gadis yang berbudi pekerti luhur dan berkepribadian menawan. Ia menjadi “sumarak” di dalam nagari di kaki Gunung Tinjau itu.
Siti Rasani kecil tumbuh menjadi remaja yang cantik. Ia sangat cantik, secantik budi dan bahasanya. Ia tumbuh menjadi gadis yang lembut, sopan, dan penuh pengertian. Hormat kepada orang tua, sayang kepada yang kecil, santun sesama besar menjadi pakaiannya sehari-hari dalam hidup. Pantaslah, jika banyak orang tertarik kepadanya.
Ibarat sekuntum bunga, Rasani dipuja banyak orang. Banyak kumbang yang meminatinya. Banyak lamaran yang datang kepadanya. Tentu saja kesembilan kakaknya memperhatikan hal itu. Bahkan sangat hati-hati dalam memilih calon suami Siti Rasani. Apalagi, Rasani merupakan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga.
Ketika Siti Rasani memasuki usia remaja itu, diam-diam dia menjalin kasih dengan Si Giran. Si Giran adalah seseorang pemuda ganteng dan memiliki kepribadian yang baik pula. Ia adalah anak Datuk limbatang. Anak mamak Bujang Sembilan dan Rasani. Ketika hubungan kasih kedua insan itu diketahui oleh kakaknya, kesembilan kakak itu mengadakan musyawarah. Mencari kata mufakat untuk memilih dan menetapkan jodoh untuk sang adik.
Musyawarah dilakukan dua kali. Musyawarah pertama dihadiri oleh Datuk Limbatang sebagai mamak. Musyawarah kedua, Datuk Limbatang tidak ikut. Ia menyerahkan kepada kesembilan kakak Siti Rasani. Datuk Limbatang akan menerima keputusan yang diambil dalam musyawarah itu. Apapun keputusannya, Datuk Limbatang akan menerimanya. Hal ini ia lakukan, karena Si Giran adalah anak kandungnya.
Hampir semua orang dari sembilan saudara itu menyepakati menerima Si Giran sebagai calon suami Siti Rasani. Akan tetapi ada seseorang kakak yang bernama Malintang, tidak sependapat. Malintang tidak setuju, kalau Si Giran menjadi jodoh Rasani. Alasannya cukup meyakinkan, yaitu Giran pernah menciderai Malintang, hingga sampai saat ini Malintang menjadi pincang.
Malintang memperkuat alasannya. Tiga tahun yang lalu, di dalam suatu keramaian, Malintang dan Si Giran diminta mempertunjukakan kebolehannya dalam bersilat. Oleh kerena keduanya seperguruan, mereka tampil di sasaran silat pada acara keramaian itu. Akan tetapi, Giran bermain curang. Ia ingin memperlihatkan keunggulannya dari Malintang. Akibat kecurangannya itu, kaki Malintang patah. Hingga kini, ia menjadi orang cacat, pincang apabila berjalan. Itulah alasan yang diberikan Malintang.
Hampir saja terjadi pertengkaran yang lebih buruk. Oleh kerana Malintanglah yang tidak setuju. Namun, mereka ingat pesan almarhumah ibunya. Ibunya pernah berpesan supaya kesembilan saudar itu selalu rukun, selalu damai, dan selalu menjaga Siti Rasani. Keputusanpun diambil. Pesan ibunya menjadi patokan keputusan. Oleh karena ada satu orang yang tidak setuju, semuanya sepakat untuk tidak menerima Si Giran sebagai suami Siti Rasani.
Sejak itu, Siti Rasani diawasi dengan ketat oleh kakak-kakaknya. Rasani tidak boleh lagi menemui Si Giran, Rasani sedih, hatinya luka, perasaannya tersiksa. Dan kabar itu pun sampai ke telingga Si Giran. Bahkan menyebar sampai ke seluruh warga di kaki Gunung Tinjau. Pengekangan gerak-gerik Siti Rasani diawasi, dibatasi. Rasani tidak dibenarkan lagi datang ke rumah Datuak Limbatang, meskipun Rasani dibesarkan di rumah itukeran semasa kecil ibu Rasani telah  meninggal. Alasan pelarangan itu adalah untuk mencegah pertemuan Rasani dengan Giran.
Ketika ada kesempatan, Siti Rasani nekat ke luar rumah. Ia ingin ke rumah Datuk limatang untuk mengadukan nasibnya. Akan tetapi diam-diam diikuti oleh kakaknya. Dalam perjalanan Rasani bertemu denga Si Giran yang hendak pergi merantau. Saat itulah kesembilan kakaknya mengeroyoki Si Giran. Akibat perbuatannya itu Rasani harus dihukum, harus dilenyapkan dari muka bumu ini. Oleh kerana Rasani telah membuat malu  keluarga. Meskipun keputusan menghukum Rasani itu ditantang oleh Datuk Limbatang, namun kesembilan kakaknya telah memutuskan. Rasani harus dibuang ke dalam kawah Gunung Tinjau.
Kesembilan kakaknya sepakat untuk menutup mata dan mengikat kaki Siti Rasani sebelum diterjunkan ke kawah gunung. Akan tetapi Rasani menolaknya. Ia merasa tidak perlu menutup mata dan mengikat kaki. Ia siap untuk terjun sendiri ke kawah gunung. Akan tetapi sebelum terjun ia berikrar, jika ia bersalah jasadnya akan lenyap ditelan kawah gunung, tetapi jika tidak bersalah, akan terjadi sesuatu di gunung itu setelah ia terjun. Pada saat akan melompat ke dalam kawah, Si Giran datang. Giran berteriak, ia juga ikut melompat ke dalam kawah itu bersama Siti Rasani kekasihnya.

Bujang Sembilan, kakak Rasani terkejut menyaksikan kejadian itu. Sesaat kemudian terjadi ledakan maha dahsyat yang disusul oleh gempa yang maha hebat. Kesembilan kakak Rasani ketakutan, ternyata ucapan Rasani benar. Ia tidak bersalah. Giran juga tidak bersalah. Akhirnya hujan lebat pun turun. Gunung tinjau lenyap dari permukaan bumi. Tinggal kini genangan air yang akhirnya menjadi Danau Maninjau.
Untuk mengigat dan mengenang peristiwa tersebut, masyarakat di kaki gunung itu memberikan nama – nama negeri dan desa sesuai dengan nama keluarga atau kaum yang menghadapi tragedi itu. Nama – nama itu adalah: (1) Sungai Batang untuk Datuk Limbatang; (2) Sigiran untuk Si Giran; (3) Tanjung Sani untuk Siti Rasani; (4) Bayur untuk Panglimo Bayur; (4) Koto Malintang untuk Malintang; (6) Batang Kurambik untuk Kurambik; (7) Simarasok untuk Marasok; (8) Rambun Bamaniak untuk Rambun; dan (9) Gasang untuk Gasang. Begitulah seterusnya, semua desa dan negeri itu terletak di Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam.

0 komentar:

Posting Komentar